Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia. Pusat dari segala pusat, mulai dari pusat pemerintahan, pusat wisata, pusat perekonomian, hingga pusat gelandangan (mungkin bisa disematkan juga, he...).
Menurut Om Wikipedia, Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), Jakarta Tokubetsu Shi (1942-1945) dan Djakarta (1945-1972). Di dunia internasional Jakarta juga mempunyai julukan seperti J-Town, atau lebih populer lagi The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding New York City (Big Apple) di Indonesia.
Masih menurut si Om Wiki, Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa (2011). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia. (https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta)
Luas wilayah Jakarta hingga tahun 2015 tidak ada perubahan, luasnya tetap dan tidak menjadi besar ataupun kecil. Namun, penduduk di kota Jakarta dari tahun ke tahun terus bertambah.
Daya magnet kota Jakarta banyak menarik masyarakat Indonesia dari seluruh wilayah. Gambaran kemewahan dan ekonomi yang dianggap kelas tinggi, membuat masyarakat berlomba-lomba untuk mengadu nasib di Kota metropolitan ini (yang kabarnya sekarang sudah menjadi megapolitan).
Padatnya penduduk di kota Jakarta terasa saat arus mudik dan arus balik pada setiap lebaran Idul Fitri. Jalan macet dan penuhnya moda transportasi saat arus mudik dari kota sejuta mall ini menandakan bahwa begitu banyaknya penduduk di kota Jakarta.
Jumlah Penduduk di Jakarta setiap tahun terus bertambah seperti tergambar dari gambar dibawah ini. (Data diambil dari data Bappeda Jakarta, http://bappedajakarta.go.id/?page_id=1131)
Luas wilayah yang tidak bertambah luas, sedangkan jumlah penduduk yang semakin banyak. Pantas jika Jakarta semakin semrawut dan terjadi kemacetan dimana-mana. Rumah-rumah penduduk bertebaran dimanapun, di pinggir kali, di pinggir rel kereta api, bahkan di kolong jembatan, merupakan pemandangan yang tak asing. “Yang penting ada tempat untuk bernaung” mungkin itu salah satu ungkapan dari alasan keadaan seperti itu.
Datang ke Kota Jakarta tanpa keahlian memang benar-benar untuk mengadu nasib. Jika beruntung mereka akan hidup enak dan nyaman, bahkan bisa jadi menjadi salah satu bos di Jakarta. Tapi, jika tidak beruntung? Mereka akan hidup sengsara, bahkan bisa lebih sengsara dibanding di kampung halaman. Mau pulang ke kampung halaman, ongkos pulang tidak ada. Mau tidak mau mereka harus mengadu lagi di Jakarta.
Jika sudah seperti ini, siapa yang bisa dan mau disalahkan?
Masyarakat datang kesana, berharap hidup mereka bisa berubah, bisa hidup lebih layak,karena perekonomian di kampung alaman yang sulit. Namun, Pemerintah hingga saat ini masih belum bisa membangun perekonomian layak di daerah.
Setiap tahun pemerintah terus berupaya untuk menekan urbanisasi. Dipulangkannya masyarakat yang tidak ber-KTPsetempat atau memulangkan masyarakat pengangguran yang lebih dari sekian bulan. (Seperti tahn ini diberlakukan di Bandung)
Apakah hanya upaya menekan urbanisasi saja? Apakah memulangkan mereka ke kampung halaman bisa merubah semuanya? Entahlah, mungkin itu solusi yang ada saat ini.
Memang seharusnya tidak hanya menekan angka urbanisasi, tetapi juga membangun daerah-daerah yang belum terbangun. Sehingga pemerataan ekonomi bisa terjadi.
Bahkan, seharusnya dalam hal ini tidak hanya pemerintah, tetapi para pengussaha pun mesti seperti itu. Mencoba untuk membuka lapangan pekerjaan di daerah-daerah yang belum terbangun, tidak hanya berkutat di Jabodetabek.
Masyarakatpun sama, harus bersinergi dalam hal ini. Mencoba membangun perekonomian tidak hanya mengandalkan kota Jakarta dan kota besar lainnya. Mencoba kreatif dan berinovasi untuk membangun daerah dan mencari penghidupan di daerahnya itu sendiri.
Ada sebuah keterangan, bahwa kebahagiaan di dunia itu ada tiga, yaitu mempunyai istri solehah, mempunyai anak-anak yang soleh dan mendapatkan penghasilan di negeri sendiri.
Mudah-mudahan kedepan masyarakat Indonesia bisa mendapatkan penghasilan di negeri sendiri, tidak perlu jauh-jauh ke negeri orang. Apalagi jika bisa mendapatkan penghasilan di kampung halaman sendiri.
Sinergi antara pemerintah, pengusaha, masyarakat dan pihak-pihak terkait sangat dibutuhkan untuk mencapai cita-cita luhur ini.
R
About Me
Popular Posts
-
"Da aku mah apa atuh..??". Kalimat tersebut sekarang ini sering terdengar ditelinga. Tulisan tersebut juga sudah sering terlihat d...
-
Berpetualang di Amazon: Antara hidup dan mati Berlibur merupakan hal yang didambakan setiap orang. Berbagai cara setiap orang dalam...
-
Beberapa tahun terakhir ini, saat musim kemarau berita yang bermunculan adalah kekeringan. Tidak di televise, koran, radio juga di internet...
-
Tolong bantu share buat generasi indonesia yg berprestasi namun terhalang factor ekonomi. . SELEKSI NASIONAL BEASTUDI ETOS 2015 Untuk selur...
-
Bergerombolnya orang ketika mendengar lowongan pekerjaan. Hal itu sangat menarik bagi orang yang sedang mencari pekerjaan. Mahasiswa ti...
-
Ini hanya sekedar share saja mengenai kursor yang tiba-tiba hilang, mudah-mudahan bisa bermanfaat. Saya punya laptop Lenovo Thinkpa...
-
Keinginan sebagai manusia tentu tak hanya satu atau dua hal. Yah... memang hal itu sangat manusiawi. Pasalnya manusia dianugrahi hasrat kein...
-
Sebuah perjalanan sesungguhnya tidak akan pernah berakhir. Ketika selesai dalam melakukan sebuah perjalanan. Hal itu sebenarnya merupak...
-
Barangkali manfaat BANK INDONESIA, membuka kembali penerimaan beasiswa mahasiswa tahun 2015-2016. Berikut persyaratan pendaftarannya. Per...
-
Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia. Pusat dari segala pusat, mulai dari pusat pemerintahan, pusat wisata, pusat perekonomian, hingg...
ADs
Video of the day
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar