Memasuki masa remaja, anak-anak mulai
mengenal arti “tertarik oleh lawan jenis”. Disaat-saat seperti inilah bimbingan
orang tua harus lebih ditingkatkan. Bila tidak mendapat bimbingan,
kadang-kadang pintu informasi tentang sebatas mana hakikat bargaul dengan teman
sebaya justru didapatkan dari sumber
yang tidak tepat. Akibatnya, mereka menyimpulkan sendiri tindakan yang mereka
lakukan.
Mendapatkan putri sematang wayangnya
yang tengah beranjak remaja pulang ke rumah pada jam di luar kebiasaan, seorang
Ibu uring-uringan. Bukannya dibiarkan istirahat dahulu, baru saja masuk pintu
rumah si anak langsung didamprat dan dihujani sejumlah pertanyaan bernada
interogasi, layaknya pencopet yang ketangkap basah.
Ujung-ujung bukan penyesalan yang
menentramkan semua pihak, si anak malah kian merasa tertekan lalu berontak dan
memilih jalan belakang. Untungnya, Lila, sebut
saja namanya demikian, masih memiliki tempat curhat. Ia segera mengirimkan SMS
kepada guru TK-nya yang dianggap bijaksana, mengadukan masalah yang tengah ia
hadapi.
“Bu mmh trs mrh2 gara-2 Lila plng kemgrbn dintr se-1 tmn pria. Pdhl,
trlmbt plng bkn krn brmain, tp mngrjkn tgs klmpk. Tlg bu jlskn kpda mmh, pda T’
U1”
(Bu, mamah terus marah-marah
gara-gara Lila pulang kemagriban diantar seorang teman pria. Padahal terlambat
pulang bukan karena bermain. Tapi mengerjakan tugas kelompok. Tolong bu
jelaskan kepada mamah, please dong
ah, thank you!)
Menghadapi masalah pelik seperti ini,
jawaban yang diberikan mesti berupa bimbingan kearah yang lebih baik. Agar si
anak merasa tidak ditekan, tetapi ia juga memahami posisi dan keadaannya bila
sampai sikapnya tidak dikelola dengan baik. Gaya bahasa yang digunakannya
seperti bunyi pesan di atas, menunjukan pergaulan kalangan remaja seolah sudah
mengglobal.
“Sabar saja, Insya Allah nanti
dijelaskan. Sekarang, ambil wudlu
dulu, sholat dan berdo;a. Tapi besok setelah ibu menjelaskannya kepada mamah
Lila, jangan lupa Lila meminta maaf ya, Ok?”
Ibarat air mengalir, kehidupan remaja
yang penuh pancaroba seringkali berjalan ke berbagai arah. Tetapi kerap
disikapi keliru oleh para orang tua. Padahal, sederas-derasnya air mengalir,
tetap saja ia bisa dikedalikan dan dikelola dengan baik. Bila pengelolaannya
tepat, aliran air dapat menggerakan turbin dan menghasilkan energy listrik yang
bermanfaat bagi kehidupan. Sebaliknya, bila salah urus dan tidak dikendalikan,
ia hanya akan menggenangi dan merendam sejumlah wilayah pemukiman.
Bolehkah Pacaran?
Doktrin ajaran Islam tidak mengenal
istilah pacaran seperti yang difahami oleh umum dewasa ini, atau oleh kenyataan
relasi antara lawan jenis yang bebas blas.
Ta’aruf yang diperkenalkan
oleh agama, hanya sebatas saling mengenal. Memang mencintai dan dicintai adalah
anugerah. Tetapi, campur tangan hawa nafsu yang kerap tidak menghiraukan
batasan-batasan, akan mengubah anugerah itu menjadi bencana dosa.
Lila adalah contoh kecil dari
kehidupan anak yang tengah beranjak dewasa. Informasi tentang etika pergaulan
yang selaras dengan agama samar-samar ia dapatkan. Itupun tidak berupa
pengajaran langsung. Ia hanya menerimanya dari sang Bunda yang kerap melarang
ini dan itu dengan cara mengomel berkepanjangan.
Suatu kali, anak gadis seusia Lila
mengajukan pertanyaan, “Mah bolehkah pacaran?” Di lain waktu, seorang pemuda
usia 30 tahun meminta izin untuk menikah dengan kekasihnya yang seorang dokter,
tanpa sepengetahuan kedua orang tua mereka berdua dengan pertimbangan khawatir
terjerumus dosa.
Melihat pertanyaan dan permintaan di
atas, dibutuhkan cara jitu untuk menjelaskannya tanpa dikesankan menggurui.
Sebagaimana perumpamaan yang disebut
di atas, energy masa pubertas anak seusia Lila akan bermanfaat bila diarahkan
ke hal-hal yang baik.
Dalam agama kita hanya dikenal ta’aruf atau saling mengenal. Upaya saling
mengenal ini diarahkan kepada pengenalan, tabi’at masing-masing, agar dengan
begitu kedua belah pihak dapat saling memahami tabi’at masing-masing, agar
dengan begitu kedua belah pihak dapat saling memahami kelebihan dan
kekurangannya. Rasa suka kepada lawan jenis yang kemudian berbalas, sebaiknya
diarahkan menjadi pemicu semangat belajar. Bukan malah mengorbankan belajar.
Sebab, siapa tahu orang yang kita
sukai hari ini akan berubah menjadi orang yang kita musuhi di keesokan hari. Sebaliknya,
orang yang kita musuhi hari ini, bisa jadi orang yang kita sukai di esok hari. Belajarlah
yang baik untuk persiapan hari esok. Jadikan rasa “mencintai” itu sebagai
pemicu semangat meraih prestasi akademik.
Sementara itu bila intensitas
pacarannya dikhawatirkan dapat mendorongnya ke jurang dosa, sebaiknya segera
menikah saja. Prinsip Islam nikah itu untuk selamanya, bukan untuk sementara
(kontrak). Al qur’an menyifati nikah itu sebagai mitsaqan ghalidhan perjanjian yang berat. Kurang elok bila
perjanjian suci itu tidak sepengetahuan kedua orang tua yang telah melahirkan
dan memelihara semenjak kecil. Masa orang yang begitu berjasa tidak diajak
bicara dalam masalah besar seperti ini.
Boleh dan tidaknya menjalin kasih
dnegan orang yang disukai bergantung kepada cara menjalin kasih tersebut. Bila berlebihan,
tentu saja terlarang. Bila mengikuti rambu-rambu agama, maka ta’aruf merupakan
langkah menuju kedewasaan.
Ditulis ulang dari Majalah Da’wah
Islamiyah Risalah No. 11 Th.45 Shafar 1429/ Pebruari 2008 hal. 70-71
R
Tidak ada komentar:
Posting Komentar